Koran De Sumatra Post pada tanggal 4 April 1939 menuliskan penolakan masyarakat Karo akan kedatangan banyak pelancong Eropah ke sebuah tepi di danau Lau Kawar yang berada di kaki Gunung Sinabung. Penolakan ini disebabkan karena lokasi itu adalah tempat ritual adat yang dilakukan masyarakat Karo saat itu.
Bagaimana akhirnya? Berikut beritanya :
Pantai Baru di Lao Kawar.
Keberadaannya, hambatan dan akhir penyelesaian.
Berulang kali terjadi, pengunjung danau kecil di kaki Sinaboeng, Lao Kawar, mengeluh. Karena peminatnya yang terlalu besar, dianggap mengganggu bagi masyarakat Karo sekitarnya. Dewan pemerintahan kemudian, melalui intervensi pemerintah daerah, menggunakan pengaruhnya untuk mengakhiri masalah ini. Ini berhasil selama beberapa waktu, tetapi setelahnya ada penolakkan lagi. Dan itu sulit dilakukan intervensi kembali.
Lagi pula, tempat yang dipilih orang Eropa telah menjadi tempat ritual penyembahan/pengorbanan orang Karo sejak sejak zaman kuno, sehingga karena hal itu mereka secara teratur mengunjungi (dan masih mengunjungi) tempat ini dan kadang-kadang ingin melihat apa yang dilakukan orang Eropa di sana.
Campur tangan pemerintah administratif akan mengakhiri ‘kepentingan’ ini, namun larangan kepada penduduk setempat untuk ke sana tidak akan sesuai, mengingat kebiasaan yang telah lama mereka buat di tempat ini. Pilihan adalah mencari lokasi yang lain bagi para pengunjung Eropa ke danau di kaki gunung ini. Dan tempat ini jauh lebih baik dari pada yang lama.
Lokasinya sekitar dua ratus meter melewati tempat ini dan berada di jalan setapak hutan. Sebuah tempat kini telah siap dengan didahului penebangan beberapa pohon di hutan purba. Di sini, orang akan dapat memiliki pemandangan indah ke seluruh danau.
Dan terdapat pantai yang indah yang mengundang orang untuk mandi. Sebuah rumah kayu sederhana dengan dua kamar memberikan pengunjung kesempatan untuk mengganti pakaian, sementara sofa dan meja sederhana juga tersedia.