Harrison Forman (1904-1978) adalah seorang fotografer dan jurnalis Amerika. Ia menulis untuk The New York Times dan National Geographic. Sekitar tahun 1970an, ia melakukan perjalanan ke Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Di Sumatera Utara, Harrison Forman mengunjungi Medan, Pancur Batu, Berastagi, Raya dan Lingga.
Kota Pancur Batu masuk ke dalam daerah administrasi Deli Serdang, namun jaraknya dari ibukota Propinsi Sumatera Utara, Medan, hanya sejauh 15 Km. Lebih jauh dari Pancur Batu menuju ke Lubuk Pakam atau ibukota Kabupaten Deli Serdang.
Jalan Letjen. Jamin Ginting yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Kabanjahe, melewati Pancur Batu. Jalan ini yang menghubungkan Medan yang bagian tanah ulayat Karo Jahe (Karo Hilir) dengan tanah ulayat Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo).
Kota Pancur Batu awalnya dibangun dan dikembangkan oleh Belanda di masa kolonial. Ketika itu namanya adalah Arnhemia. Kota ini dibangun sebagai pusat pemerintahan yang mengurus pemukiman Suku Karo di Karo Hilir (sekarang sudah masuk wilayah Kabupaten Deliserdang dan Kota Medan).
Pasar di Pancur Batu cukup ramai. Tidak saja oleh lalu lalang orang dan kendaraan yang naik atau turun dari dataran tinggi tanah Karo menuju ke Medan dan kota-kota lainnya, namun juga oleh transaksi dagang antara penduduk dataran rendah dengan penduduk dataran tinggi atau pegunungan.
Pada foto di bawah ini tampak para pedagang dan pembeli bertemu. Tampak sebuah plank nama toko. Tertulis : “Ingan Malem, Kedai Kopi dan Tuak, Dj. Medan – B.Tagi. P.Batu.” Kedai “Ingan Malem”berada di Pancur Batu di jalan Medan-Berastagi.
Di depan toko terdapat hiasan selongsong Mortir. Hal yang sama juga ada di depan “Restoran Berastagi” di Berastagi yang tampak dari foto hasil bidikan Harrison Forman (bisa dilihat di : Berastagi, Raya dan Lingga di Tahun 1970an ….). Dan di depannya tampak para gadis-gadis Karo tahun 1970an dengan rok pendek. Pakaian yang modis dan sedang diminati masa itu, sepertinya.
Terlihat kardus besar bertulis buah Pear asal China. Apel juga ada, entah asal mana. Orang berbelanja dengan membawa sendiri keranjang dari rumah. Semua memakai alas kaki sendal jepit terkecuali bapak yang bersandar di sepedanya.
Perempuan dewasa Karo ada yang menggunakan Uis Nipes untuk menutup kepala. Bulang (kakek) pakai peci hitam.
Pada gambar di bawah ini terdapat angkutan bus umum “Bumi Jaya” jurusan Medan – Bandar Baru. Terdapat juga bus “Bumi Jaya” jurusan Langkat – Bandar Baru tentu via Pancur Batu. Di halaman ini adalah tempat bus Bumi Jaya dan bus-bus lainnya menunggu penumpang.
Tampak seseorang berkacamata hitam berdiri dan berbicara melalui microphone. Handuk putih di lehernya dan ia menunjukkan sebuah botol plastik kecil yang tembus pandang. Di bagian samping mobilnya tertullis : Rasakanlah hari ini …….
Sepertinya memang ia adalah penjual obat keliling yang sedang menyampaikan keunggulan jualannya. Ini bagian dari hiburan di pasar. Terkadang ia bisa menarik keingintahuan orang-orang seperti penumpang di dalam bus Bumi Jaya yang terlihat menyimak dengan tekun. Atau karena cuma hiburan itu yang ada untuk mengusir rasa bosan menunggu mobil berangkat.
Semenjak jalan dibuka dari Medan ke Kabanjahe, sudah sangat jarang ada yang melintasi jalur Perlanja Sira. Perlanja Sira artinya adalah Pedagang Garam. Para pedagang tentu memilih mengendarai bus atau Prah (truk) karena lebih hemat waktu dan tenaga.
Lihat saja bungkusan-bungkusan garam pada gerobak becak yang siap untuk dikirim ke dataran tinggi Karo, tentunya karena garam sangat diperlukan. Sejak dahulu garam diambil ke dataran rendah oleh penduduk di gunung.
Dari dataran tinggi pun dikirim sayur mayur, buah-buahan, gula merah, petai, jengkol, hingga anyam-anyaman dari bambu seperti tikar dan alat penampi beras. Hubungan jual beli sudah berlangsung sejak lama.
Tampak jasa simpan sepeda yang buka siang dan malam. Ada juga jasa tambal ban sepeda. Sebagai alat transportasi penting saat itu, adanya jasa titip parkir sepeda menunjukkan ramainya hilir mudik antara penduduk dataran tinggi Karo dengan dataran rendah Medan.
Tampak toko menjual kasur, sepeda anak-anak, tempat tidur bayi, dan perabotan rumah tangga. Kebutuhan tertier ternyata kian beragam dan sudah banyak yang membutuhkannya.
Penjual Bakso tak mau ketinggalan. Dengan gerobak dorongnya dia menanti pelanggan. Dan penyedap Sasa ternyata juga dipakai olehnya, biar makin lezat masakan.
Harrison Forman (1904-1978) adalah seorang fotografer dan jurnalis Amerika. Ia menulis untuk The New York Times dan National Geographic. Pada Perang Dunia II, ia melaporkan dari Tiongkok dan mewawancarai Mao Zedong.
Ia lulus dari Universitas Wisconsin dengan sebuah gelar dalam Filsafat Oriental. Kumpulan buku harian dan lima puluh ribu fotonya sekarang berada di American Geographical Society Library di University of Wisconsin–Milwaukee.
Foto-foto pada tulisan ini bersumber dari American Geographical Society Library, University of Wisconsin-Milwaukee Libraries.
(Karo Siadi.com)