Perempuan-perempuan di Koran Bintang Karo.
Surat kabar Bintang Karo tidak saja menjadi media bagi masyarakat Karo tapi juga media perjuangan di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara). Dari susunan redaktur, para jurnalis serta kontributornya tidak semua posisi ini diisi oleh orang Karo saja. Ada Marah Oedin Harahap sebagai pemimpin redaksi Bintang Karo.
Begitu juga ada banyak perempuan menduduki posisi di koran ini seperti Zabedah Sjarif sebagai editor dan Paulina Siregar sebagai co-editor. Ada Tengkoe Ramsiah yang merupakan seorang penulis perempuan yang telah banyak menulis di koran-koran di Medan. Juga ada Sitti Hasnah, P. Beroe Bangoen dan lain-lain.
Koran Bintang Karo menyatakan bahwa media cetak ini dibentuk dari kumpulan “Pemoeda Karo,“ “Pemoeda Aceh,” atau “Pemoeda Soematera” yang berkumpul untuk memberi kontribusinya terhadap perluasan pengetahuan bagi para pemuda/i. Disamping bergabung untuk mengembangkan cinta kasih dan rasa persatuan.
Di bawah penanggung jawab Mahat Singarimboen, Bintang Karo memberikan kesempatan kepada kemajuan bagi perempuan. Banyak tulisan-tulisan dalam Bintang Karo yang mengangkat permasalahan pendidikan bagi perempuan. Seperti koran Bintang Karo no. 3 terbitan Oktober 1929 yang menyoroti ketentuan di Sekolah Perempuan Kaban Djahe untuk penentuan melanjutkan sekolah ke Sekolah Umum Perempuan di Padang Pandjang.
Sementara koran Bintang Karo no.11 yang terbit pada bulan November tahun 1929 mengangkat wawancara dengan Sibayak Lingga. Salah satu topik wawancara adalah tentang sekolah tenun Karo di Lingga. Karena sekolah tenun Karo ini didirikan untuk memberikan pelatihan kejuruan yang tepat untuk para perempuan. Hasilnya tidak sia-sia, karena istri pendeta Van den Berg dari Kaban Djahe ikut juga sibuk melatih ibu-ibu rumah tangga dan lain-lain.
Kolom sastra seperti puisi juga menjadi daya tarik para perempuan di Sumatera Timur untuk menuliskan gagasannya. Keberanian perempuan dalam menulis ini tentu karena koran Bintang Karo memberi ruang lebar bagi bangkitnya partisipasi perempuan dalam memajukan bangsanya.
Puisi “Adjakan.”
Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Perempuan dan Pendidikan : Gerakan Perempuan dalam Puisi “Tjemboean” (1919) dan “Adjakan” (1931)” yang ditulis oleh Sartika Sari, Aquarini Priyatna, dan Teddi Muhtadin dari Program Pascasarjana Sastra Kontemporer, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran didapatkan pemahaman bahwa puisi “Adjakan” yang dimuat oleh koran Bintang Karo menjadikan pendidikan sebagai siasat dan alat bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya. Koran ini terbit di bulan Maret 1931.
Pada kurun waktu 1919-1940-an, ada juga beberapa puisi perempuan yang dimuat di antaranya di surat kabar Matahari Indonesia (1929), Poestaha (1929), Soeara Dairi (1930), Kompas (1925), Medan Rakyat (1916), Tjermin Karo (1924), Pandji Kita (1938), Pedoman Masyarakat (1939), Boroe Tapanoeli (1940), Bintang Oemoem (1941) dan lain-lain. Namun sebagian besar puisi-puisi tersebut membicarakan percintaan, persahabatan, dan rasa rindu pada kampung halaman.
Sementara ide puisi yang mengangkat perlunya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, paling kuat dimunculkan dalam puisi “Tjoemboean” yang terbit di surat kabar Perempoean Bergerak pada edisi 6 Juli 1919 dan “Adjakan” yang terbit di surat kabar Bintang Karo edisi Maret 1931.
Tentu ada perbedaan mencolok dari surat kabar Perempoean Bergerak yang tentu mengkhususkan diri mengangkat pemberitaan tentang perempuan dibandingkan dengan surat kabar Bintang Karo yang tak saja membicarakan perempuan namun juga berbicara tentang kebangsaan, adat, gender, ekonomi dan lain-lain. Dan dalam edisi yang sama di bulan Maret itu juga, puisi “Adjakan” bukan hanya sebuah ajakan Beroe Bangun sendiri namun juga disertai dengan beberapa artikel yang kuat pada persoalan futuristik. Masing-masing tulisan menyertakan hasil analisis kritis terhadap situasi yang ada masa pada itu. Bersamaan dengan pemikiran-pemikiran itu juga disampaikan sejumlah pandangan tentang masa depan. Bahkan koran Bintang Karo no.2 yang terbit bulan Febuari 1931 telah menyatakan kemerdekaan “Indonesia adalah cita-cita siang dan malam.”

Puisi “Adjakan” yang ditulis oleh P. Beroe Bangoen adalah kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi kaum ibu khususnya, pendidikan tidak hanya dijadikan kebutuhan tersier tetapi menjadi kebutuhan primer untuk mencapai kesejahteraan hidup. Puisi tersebut menjadikan pendidikan sebagai alat bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya, termasuk agar memiliki ruang gerak di luar ruang domestik.
Adjakan (Doenia Istri)
Oleh P. Beroe Bangoen
Awal moelanja soerat direka
Diambil kertas tempat berkata
Dengan pena tinta beserta
Tiga jari poela memegangnja
Sebeloemnja maksoed hamba oeraikan
Kehadapan sahabat handai dan taoelan
Lebih dahoeloe kita seroekan
Barang jang salah minta maafkan
Kehadirat Allah beta katakan
Limpah karoenia Ia toeroenkan
Bagi kita Ia berikan
Soepaja selamat kita semoea
Tidak koerang soeatu apa
Moerah rezeki dekat bahagia
Hidoep senang atas doenia
Koeoeraikan poela apa hadjatkoe
Kepada toean, teman sekoetoe
Djangan ketinggalan kita kaoem iboe
Boeat menoentoet pengadjaran ilmoe
Ilmoe itoe harta jang kekal
Tentoelah ia djangan tertinggal
Walaoe di darat ataoe di kapal
Itu boleh mendjadi bekal
Sebab kaoem iboe zaman sekarang
Menoentoetlah ilmoe amatlah djarang
Hingga pengetahoean amatlah koerang
Ambilah tjermin ke tanah Seberang
Tapi kalaoe kita rajin beladjar
Segala ilmoe dapat dikedjar
Sehingga boleh djadi pengadjar
Kalaoe kita soedahlah pintar
Kalaoe kita soedahlah pandai
Segala maksoed moedah tertjapai
Dapat naik sebagai toepai
Baoenja poen haroem bak boenga teratai
Dari sebab itu wahai kawankoe
Mari kita satoe persatoe
Dengan segera rentjana ilmoe
Soepaja madjoe kita kaoem iboe
Sebab kita lihat kaoem laki-laki
Sangat soenggoeh keras di hati
Menoentoet ilmoe berhati-hati
Sesoedah dapat baroe berhenti
Sebeloem dapat moendoer tak soeka
Toentoetlah ia sehabis tenaga
Djangan lekas berpoetoes asa
Sebab ilmoe itoe pangkal bahagia
Ilmoe itoe sangat berharga
Mahal dari emas soeasa
Ataoepoen dari intan moetiara
Pengetahoean itoe lebih bergoena
Kalaoe ilmoe ada di dada
Serta manis toetoer bahasa
Moerah dapat perak tembaga
Didapat dengan djalan moelia
Di sini rentjanakoe habislah soedah
Kepada sahabat akoe bermadah
Toean membatja djanganlah goendah
Sebab karangan banjak jang salah
Salahnja itoe minta ampoeni
Djangan goesar di dalam hati
Sebab kita sama mengetahoei
Pikiran datang dari hati soeci
Samboetlah salam dari pada beta
Wahai pembaca oesoel djoega poeta
Beserta kawan semoea rata
Besar, kecil, toea dan moeda
*Tot Ziens
(P. Beroe Bangoen)
Koran Bintang Karo
(edisi Maret 1931, halaman 3)
Puisi “Adjakan” adalah sebuah ajakan kepada para ibu-ibu agar tidak berhenti dalam menuntut ilmu. Ada rasa sungkan di bait-bait awal puisi seperti bentuk keragu-raguan yang dirasakan penyair ketika menulis. Dilengkapi dengan permohonan maaf kepada para pembaca jika ada terdapat kesalahan yang ditemukan dalam tulisan puisinya. Selanjutnya ucapan syukur atas limpahan rahmat yang telah diberikan oleh penguasa alam dan doa bagi penyair dan para pembaca. Ini seperti umumnya mantra-mantra ataupun pesan pembuka yang selalu diucapkan dalam masyarakat adat di Sumatera Timur.
Barulah setelahnya ide tentang pendidikan disampaikan secara lugas dengan menititikberatkan perlunya pendidikan bagi kaum ibu agar para ibu tidak ketinggalan. Karena ilmu adalah harta yang abadi. Pengajaran yang baik akan membuat pengetahuan bertambah. Bahkan perlu mengejar ketertinggalan dari negeri seberang.
Beru Bangun mengajak para ibu-ibu untuk bersatu agar semua kaum ibu bisa maju. Tetap menuntut ilmu walau tubuh kian renta karena mengejar ilmu adalah pangkal bahagia. Bahkan pengetahuan lebih mahal dari emas permata.
Karena kalau para ibu sudah berilmu, ia bisa menjadi pengajar yang baik. Tidak saja mengajar bagi orang lain tapi juga mengajar bagi anak-anaknya agar rajin dan pandai. Sehingga cita-cita akan tercapai dengan pengetahuan dan semangat mencari ilmu yang ditularkan oleh para ibu-ibu kepada anaknya. Sehingga murah dapat “perak dan tembaga” di jalan yang mulia.
Puisi “Adjakan” menyampaikan kesadaran bahwa perempuan yang telah menjadi ibu tidak hanya berhenti posisinya sebagai ibu. Namun ia juga dapat memberi kontribusi bagi kemajuan keluarga dan sekelilingnya juga bangsa.
Puisi “Adjakan” telah dapat memprovokasi para ibu-ibu agar maju dalam pengetahuan agar maksud dan tujuan hidup dapat tercapai. Sehingga bila sudah pandai para ibu yang bersatu dapat maju seperti kaum laki-laki lainnya.
Dapat Naik Sebagai Toepai.
Puisi “Tjoemboean”sedikit berbeda dengan puisi “Adjakan” walau sama berbicara tentang perlunya pendidikan bagi perempuan. Dalam puisi “Tjoemboean” yang menjadi subjek adalah para perempuan yang belum menikah atau masih bersekolah. Puisi “Tjoemboean” mengedepankan sejumlah kritikan terhadap perilaku perempuan yang memilih putus sekolah hanya karena ingin menikah.
Sementara puisi “Adjakan” menggunakan perempuan yang sudah menikah atau telah menjadi seorang ibu sebagai subjek. Puisi “Adjakan” menekankan ajakan pada kaum ibu agar tidak berhenti menuntut ilmu.
Kedua puisi ini pernah hadir menjadi penyemangat dan suluh penerang dalam memajukan para perempuan di jamannya.
Kalaoe kita soedahlah pandai
Segala maksoed moedah tertjapai
Dapat naik sebagai toepai
Baoenja poen haroem bak boenga teratai.
Pada akhirnya kini kita rasakan, puisi “Adjakan” telah berhasil menjadikan pendidikan sebagai siasat sekaligus alat bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya. Naik dan melompat sebagai Toepai. Sungguh P. Beroe Bangoen telah berpikir lebih maju pada jamannya.
Catatan : *Tot Ziens – sampai bertemu lagi.
Sumber bacaan :
“Perempuan dan Pendidikan : Gerakan Perempuan dalam Puisi “Tjemboean” (1919) dan “Adjakan” (1931)” oleh Sartika Sari, Aquarini Priyatna, dan Teddi Muhtadin, Program Pascasarjana Sastra Kontemporer, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.