Koran De Indische Courant terbitan tanggal 23-07-1931 dan koran De Sumatra Post tanggal 27-07-1931 memberitakan masalah suksesi kepemimpinan di Urung Lima Senina (Batukarang). Ada yang mempertanyakan, mengapa bukan anak Pa Moetari yang bernama Meltah Perangin-angin Bangoen yang menjadi raja urung? Mengapa anak Pa Noenggoeng yang bernama Bontjar yang ditunjuk memegang jabatan itu?
Berikut laporannya :
Masalah Suksesi.
Posisi pemerintahan.
Koran De Indische Courant, 23-07-1931
Bapak Soangkoepon, anggota Volksraad, mengirim pertanyaan berikut kepada pemerintah pada tanggal 5 Juni :
Pada tahun 1914, almarhum Pa Moetari, raja yang memimpin Urung Lima Senina (Batoekarang), Onderafdeling Karolanden, Afdeling Simeloengoen dan Karolanden, pemerintah Pantai Timur Sumatra, dibebaskan dari jabatannya oleh keputusan Kerapatan Radja Berampat di Kaban Djahe, oleh karena beliau telah melakukan tindakan yang tidak dapat diterima.
Akibat karena telah melanggar aturan adat yang berlaku, penggantinya diangkat yakni : Pa Noenggoeng, yang sebelumnya adalah anggota Kerapatan Baleioeroeng dari Batukarang.
Sementara itu, putusan ini dikesampingkan oleh kepala pemerintahan daerah di Medan.
Sebelum permasalahan ini selesai, Pa Moetari meninggal pada tahun 1915, mungkin karena hukuman yang dijatuhkan dan kenyataan bahwa putranya sendiri, Meltah merga Perangin-angin Bangoen, tidak ditunjuk sebagai penggantinya.
Sekarang, ketika Pa Noenggoeng pensiun, putranya bernama Si Bontjar telah ditunjuk sebagai penggantinya.
Sehubungan dengan hal ini, penulis ingin mendengar dari pemerintah apakah alasan-alasan atas dasar Meltah tidak ditetapkan sebagai penerus ayahnya pada saat itu masih berlaku, dan, jika tidak, apakah sekarang tidak mungkin untuk menunjuk pewaris sah Pa Moetari sebagai Raja Oeroeng Lima Senina (Batoekarang)?
Jawaban dari pemerintah, dikirim 20 Juli menyatakan:
Pada saat itu, yang diakui pemerintah sebagai Radja Oeroeng di Batoekarang di negeri-negeri Karo adalah : Pa Moetari dan Pa Nggoentoer. Nama yang terakhir ini dibebaskan dari jabatannya pada tahun 1908 karena melakukan beberapa kesalahan, setelah itu Pa Noenggoeng diangkat sebagai Radja Oeroeng menggantikan Pa Nggoentoer. Setelah kematian Pa Moetari, hanya Pa Noenggoeng yang tersisa.
Mengikuti aturan yang selalu diikuti dan dipertahankan serta digunakan di negeri-negeri Karo, di mana bila ada beberapa orang menempati posisi ini, yang paling lama bertahan akan memegang jabatan dan sementara keturunan sang almarhun tidak mendapatkannya. Selain itu, sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintahan sendiri yang mengatur suksesi di Karolanden, sudah ditetapkan, bahwa setelah kematian Pa Noenggoeng, putranya akan menggantikannya; penunjukan keturunan Pa Moetari menjadi Radja Oeroeng tidak akan mungkin terjadi karena melanggar hak orang lain.
Dari uraian di atas bahwa alasan Meltah merga Perangin-angin Bangoen pada saat itu tidak ditetapkan sebagai penerus ayahnya sekarang sepenuhnya sah.
Di Batoe Karang. Adat-adat Lama.
Koran De Indische Courant, 23-11-1936.
Di kampung Batoe Karang di lanskap Lingga, acara noeroen-noeroen dilakukan terhadap sisa-sisa jasad mantan Radja Oeroeng Lima Senina yang meninggal sepuluh tahun lalu, yakni almarhum Pa Moetari. Begitu laporan dari Deli Courant.
Sisa-sisa jasad dari istri tertua ayah Pa Moetari juga dibawa.
Menurut adat radja-radja Karo, acara noeroen-noeroen dilakukan berarti bahwa radja telah resmi mati, dan sudah tiba saatnya untuk menunjuk seorang pengganti.
Radja Oeroeng di Oeroeng Lima Senina telah lama menjadi perhatian masyarakat Karo di landskap (Kesibayakan) Lingga.
Saat ini ada seorang Radja Oeroeng yang karena usianya yang sudah lanjut, telah menyerahkan jabatannya kepada putranya, yang sekarang bertindak sebagai pengganti Radja Oeroeng.
Radja Oerong yang menjabat ini menikah dengan seorang adik perempuan dari Sibajak Lingga saat ini.
Demi suksesi, menurut adat, perhatian sekarang kembali difokuskan pada putra tertua almarhum Pa Moetari, yang bernama Si Meltah.
Apakah dia benar-benar memenuhi syarat untuk ini, bagaimanapun, diragukan. Karena dia, menurut informasi yang didapatkan, pernah mengalami hukuman di masa lampau karena aktivitasnya.
Dia memiliki seorang putra, yang mungkin memenuhi syarat untuk jadi Radja Oeroeng.
Koran De Sumatera Post mendapatkan informasi, bahwa keluarga almarhum Pa Moetari juga ingin mengukur suasana hati penduduk dengan acara “noeroen-noeroen”, yaitu apakah keluarga masih memiliki pengikut yang kuat.
Catatan dari Admin Karosiadi :
- dari buku “Garamata : Perjuangannya Melawan Penjajahan Belanda (1901-1905)” dapat diketahui bahwa pemimpin-pemimpin dari Batukarang yang ikut berperang melawan Belanda bersama Kiras Bangun (Garamata) adalah Pa Rempu Bangun, Pa Mutari Bangun, Pa Ngguntur Bangun, Pa Nunggung Bangun, Pa Dumange Bangun, Pa Tambangen Bangun, Pa Nderumi Bangun, Pa Larlar.
- Potongan pemberitaan dari koran De Indische Courant dan De Sumatra Post di atas memberi informasi bahwa Pa Moetari memiliki putra tertua bernama Meltah. Dan Pa Noenggoeng memiliki putra bernama Bontjar. Apakah yang dimaksud Pa Moetari adalah nama pak Moetari sendiri dan bukan berarti bapak dari anak bernama Moetari? Perlu dikaji lebih lanjut.