Koran De Sumatra Post menerbitkan cerita bersambung dengan 34 bagian dengan judul : “Van Riouw naar Deli in 1872. Door een ooggetuige.” Kisah ini diterbitkan dari tanggal 19 Agustus 1915 hingga 25 September 1915.
Kisah bersambung ini dituliskan dari sisi mata seorang tentara Kolonial Belanda yang didatangkan dari Riouw (Riau) ke Deli (Medan) untuk menghadapi gejolak yang terjadi. Orang-orang Karo di Sunggal bersama pemimpinnya menolak tanah-tanahnya direbut oleh Kesultanan Deli dan Langkat, dimana kedua kesultanan ini meminta bantuan tentara Kolonial Belanda yang juga punya kepentingan untuk perluasan areal perkebunan milik orang-orang Eropah.
Masyarakat Karo di Urung Serbanyaman (Sunggal) melawan dengan membakar bangsa-bangsal tembakau. Perlawanan ini dipimpin oleh Datuk Surbakti dari Urung Serbanyaman dibantu dengan pasukan dari dataran tinggi Karo.
Berikut kisah bersambung ini dapat dibaca satu persatu :
Dari Riau ke Deli pada tahun 1872. Sebuah kesaksian mata.
1. Persiapan untuk Keberangkatan. Menyeberang.
Riuh tanya melambung di udara. Sesuatu sedang terjadi. Semua orang menebak-nebak, tetapi tidak ada yang tahu apa-apa tentang hal itu, mengapa mereka akan ditarik ke hutan besok, berlatih untuk baku tembak dan untuk waktu yang lama. Tampaknya ada yang harus dikerjakan.
Pada malam di tanggal 8 Mei 1872, bagai sebuah bom jatuh dari langit, perintah datang kepada komandan militer di Riouw (Riau) untuk segera dilaksanakan, perintah sesegera mungkin untuk membawa konvoi pasukan maju menuju Deli. Perintah ini melalui telegram disampaikan oleh pemerintahan di Batavia ke Singapura, lalu disampaikan ke Riouw melalui Kapal Uap Den Briel oleh komandan Van der Wijck.
Pada malam yang sama, perbekalan dipersiapkan yaitu beras, daging asin, lada Spanyol, gin, mentega, kopi dan roti kering, diperiksa, dan dihitung serta ditimbang jumlah yang diperlukan dan dikemas ke dalam kotak portabel oleh para kuli yang diikat dengan tali rotan. Amunisi juga dikemas pula dalam peti portable yang harus dibuat terlebih dahulu, dan begitu juga obat-obatan. Sehingga perbekalan dan amunisi besok sore siap untuk diberangkatkan.
Karena keadaan permukaan air laut yang surut, kapal uap yang dimaksudkan untuk mengangkut pasukan dan barang-barang tidak dapat berangkat. Untuk sementara hanya barang yang dimasukkan. Baru pada tanggal 10 Mei, pada pukul 12 siang, Kapal Uap Den Briel dapat membawa tentara angkatan darat ini dan amunisi. Air laut telah pasang.
Ketika kapal uap itu berlayar menyusuri bukit, di puncak terdapat bangunan, salam perpisahan dilambaikan oleh garnisum yang tinggal di sana, yang tetap di Riouw. Bendera Belanda tampak berkibar. Lambaian sikap salut dan hormat juga terlihat dari rumah-rumah hunian tentara.
Sebagai balasan, kapal perang segera juga membentangkan bendera kami, dengan korps musik menyanyikan “Wien Neerlandsch blood.” Sebuah kehormatan agar tiga warna tetap berkibar tinggi. Ini adalah momen yang mengharukan.
Yang pertama perlu dijaga prajurit selama pelayaran adalah senapan yang terletak di bagian bawah kapal. Di sekitar dapur dan di antara meriam, para prajurit akan menetap selama berhari-hari dan bermalam-malam yang akan dilalui selama penyeberangan. Di mana saja mereka bisa berbaring, duduk atau berdiri sesuka hati, namun mereka tidak bisa mendapatkan banyak tempat untuk bergerak tanpa mengganggu tetangganya.
Lambat laun, kelompok-kelompok baru terbentuk, masing-masing dengan sendirinya menghasilkan pemandangan yang berbeda. Aktivitas para pelaut, pada kapal berwarna putih, seperti kehidupan di sebuah panggung. Di sini ada yang menambal pakaian, ada yang membuat dari bahan kain putih seperti topi, celana dalam. Ada yang menambal kaus kaki. Beberapa kelompok penduduk pribumi memainkan kartu sebagai permainan favorit. Duduk tenang dan kadang bertaruh dengan sisa gaji yang lalu.
Kegiatan perawatan kapal juga dilakukan, ada yang mengamplas, pemolesan, pengecatan. Semua orang mengambil bagian. Dengusan mesin yang terus-menerus bekerja, celotehan orang-orang, nyanyian dan dari waktu ke waktu adalah irama keseharian selama perjalanan.
Di dek belakang, satu pelaut pelaut dihukum, yang membiarkan senapan tergelincir jatuh sehingga seluruh geladak bergetar. Akan ada penyelidikan hukum baginya.
Hari sangat panas – seperti umunya di Hindia, sinar matahari yang panas bersatu dengan udara panas dari dari ruang mesin. Angin yang berhembus tak banyak bisa menghalaunya.
Asap hitam keluar dari cerobong asap. Turun di belakang kapal, dalam garis gelap panjang di permukaan laut yang halus.
Kami menutup perjalanan hari ini sampai jam 6 sore dan kemudian membuang sauh di sebuah pulau kecil bernama Poeloe Sau, dan bermalam di sana.
Keesokan paginya, sekali lagi di bawah asap kapal, orang-orang segera melihat Singapura dalam kejauhan pandangan. Dan secara sepintas, sinyal terlihat dari pantai.
Untungnya, cuacanya tetap sangat bersih, sehingga pada malam hari semua orang bisa riang di geladak. Tidak ada tempat tidur empuk, tetapi sama sekali tidak ada hambatan untuk menikmati istirahat malam yang nyenyak. Memang karena kapal perang tidak diperlengkapi untuk penumpang, tidak ada yang meminta yang lebih baik.
Petugas dan tentara mendapat perlakuan yang sama. Dan bersahabat selama masa penyeberangan.
Bersambung ke Bagian 2
Sumber : Koran De Sumatra Post tanggal 19-08-1915