“Berastagi Vooruit” atau “Berastagi Maju” itulah nama asosiasi atau kelompok yang hadir untuk membangun dataran tinggi Karo. Dalam buku “Kroniek 1913-1917” yang disusun oleh M. Joustra dan terbit di Leiden tahun 1918 menggambarkan perkembangan dan kemajuan Karo Doesoen (Sibolangit dan sekitarnya) hingga ke dataran tinggi Karo khususnya dan Pantai Timur Sumatera serta Tapanuli umumnya.
Perkembangan dataran tinggi Karo ditandai dengan berdirinya sekolah pertanian, lahan percobaan pertanian dan Pusat Pengembangan Kerajinan dan Pertukangan di Kabanjahe. Kemajuan pertanian Berastagi disebabkan adanya kebun percobaan budi daya pertanian di sekitar Berastagi dan di kota ini kian banyak berdiri villa dan pesanggrahan.
Dan dengan berdirinya sekolah berasrama untuk pelatihan kerajinan dan pertukangan di Kabanjahe, didapatkan hasil bahwa orang Karo hebat karena berbakat dalam pertukangan. Tak diragukan hasil pekerjaannya dan hanya perlu tambahan pengetahuan di proses finishing.
Berikut ringkasan yang diambil dan diterjemahkan dari buku “Kroniek 1913-1917” dan khususnya menyangkut perkembangan kehidupan masyarakat Karo saja.
Kroniek 1913-1917.
Sekarang, sejauh menyangkut Pantai Timur Sumatra, pengerasan jalan Kaban Djahë – Sariboe Dolok dan jalur kereta api Tebing Tinggi – Siantar, direalisasikan. Dan juga diperluas layanan transportasi dari Medan ke Kaban Djahë hingga tiga kali seminggu. Setelah berakhirnya perang, kelanjutan jalur dari Siantar ke Parapat (Sipiak) di Danau Toba diharapkan dilakukan. Sementara itu, koneksi cepat dengan Tapanoeli telah dibuat.
Sejak 2 Oktober 1917, sebuah layanan mobil pribadi telah dibuka (seminggu sekali) dari Siantar ke Panahatan, setelah itu perahu motor berangkat dari Panahatan di Danau Toba ke Baligë. Jika seseorang ingin pergi ke Baligë dengan mobil sendiri, untuk melanjutkan ke Tapanoeli, ini dimungkinkan. Seseorang dipastikan harus berada di Tiga Ras pada Senin sore dan menyampaikan informasi ke asisten residen empat hari sebelumnya.
Di Tapanoeli, peningkatan dan perluasan jaringan jalan telah ditanggapi dengan serius dalam beberapa tahun terakhir. Pekerjaan tersulit adalah pelebaran jalur Sibolga – Taroetoeng, yang sekarang sedang dibangun ulang untuk jalan mobil. Untuk lalu lintas antar daerah penting untuk mengganti jalur kuda di 18 pos di ruas jalan Moeara Sipongi-Rao dengan jalan yang cocok untuk kendaraan bermotor.
Koneksi antara Taroetoeng dan Sipirok juga telah sangat meningkat. Kendala utama, bagaimanapun, tampaknya adalah dataran tinggi, yang memisahkan dataran tinggi Sipirok dengan dataran lembah Simangoemban. Fakta ini didapat pada perjalanan pengintaian pada tahun 1917.
Sambungan Baligë – Padang Sidimpoean untuk lalu lintas berkecepatan tinggi terus melintasi Sibolga, sementara itu jalan memutar. Berkat mobil pemerintah dan pribadi, kesulitan ini tidak terasa terlalu besar. Sejak 1 Januari 1917, layanan mobil pemerintah telah berada di bawah manajemen Kepala Inspektur, Kepala Kereta Api Negara dan Trem di Hindia Belanda.
Perkembangan Berastagi cepat sekali, berikut adalah hamparan pemandangan sebagian areal berisi villa dan pesangrahan. Berikut gambarannya :
Jauh di latar belakang, hampir tidak terlihat adalah villa : Dr. Schüffner, Tameling.
Pada baris kedua villa milik : Ketner, Deli Engineering dan Ris, Harrisons & Crossfield, Pinckney, Senembah, Delispoor, Medan Tobacco Mij.
Pada bahagian depan adalah villa : H. A. P. M dan Deli-Maatschappij.
Dan sementara tidak tampak di gambar adalah villa dan pesanggrahan dari : Majorie, Mettler, Batavia, Pesanggrahan Pemerintah, Société Financière, Arendsburg, Deli-Batavia Mij., Van Marle; Güntzel & Schumacher.
Selain itu ada lima atau lebih villa sedang dibangun. Dari waktu ke waktu, telah ada pembangunan. Masih ada banyak ruang, seperti yang jelas dari foto itu, dan tampak kecantikan alam dan hutannya serta lain-lain dibarengi pembangunan jalan setapak. Masih banyak yang harus dilakukan oleh Asosiasi “Berastagi Vooruit” yang baru didirikan.
Pemandangan alami di latar belakang yang sangat indah : pegunungan yang panjang dan berhutan dan di belakangnya terdapat gunung Sibayak yang fantastis dengan kawah yang terhampar di bawahnya belerang berwarna kuning-hijau.
Pertanian.
Di dataran tinggi Karo, di Tongkeh (tempat orang Gayo ikut melintas menuju dataran rendah Deli dari dataran tinggi), di mana beberapa tahun yang lalu berdiri Kedë di bawah pengawasan dan pengelolaan misionaris adalah satu-satunya. Beberapa tempat dagang pengecer dari Karo didirikan di situ. Meskipun masih sederhana, pusat perdagangan masyarakat lokal telah didirikan. Orang mungkin bertanya-tanya apakah orang Karo akan cocok untuk perdagangan dan segera setelah itu menuntut sesuatu yang lebih dari tempat perdagangan yang sangat sederhana ini, di mana lokasi ini masih belum diubah sampai sekarang.
Pada Januari 1911, Bapak H. M. Botje, seorang mantan siswa sekolah pertanian Wageningen, berangkat ke Hindia. Karena aktivitasnya selama ini dalam perdagangan produk pertanian, ia memiliki pengalaman komersial yang dapat ia gunakan selain pengetahuan pertanian yang diperolehnya di Wageningen.
Ini adalah keuntungan, karena bukan hanya berkutat mengajari orang suku Karo metode pertanian yang lebih baik, bagaimana menanam produk yang cocok dengan karakteristik lahan yang tersedia, tetapi juga harus mampu memberi janji untuk berhasil dan laku dengan mendapatkan laba. Botje tentu tidak bertindak sebagai semacam guru pertanian yang memberikan pendidikan teoritis pertanian seperti di sekolah, tetapi tampil sebagai seorang praktisi.
Ia akan melakukan budidaya berbagai tanaman, untuk menunjukkan kepada orang Karo, dan melakukan demonstrasi, bagaimana mereka bisa meningkatkan pendapatan yang masih rendah dari negeri di dataran tinggi ini. Dan seiring waktu, Botje berhasil mendapatkan areal lokasi pertanian sehingga ia dapat menjalankan pertaniannya dalam skala yang cukup besar.
Hasil yang sangat baik dapat dicapai, setidaknya di antara masyarakat yang pada umumnya adalah petani yang tak mengecap pendidikan sekolah apalagi sejenis sekolah pertanian. Botje memang juga mengajar di sekolah pelatihan untuk para guru misionaris pribumi di Raya, tetapi terlepas dari kenyataan bahwa ini hanya sebagian kecil dari karyanya, tetapi tibalah waktunya terbukti bahwa budidaya kentang telah berhasil.
Dan bahwa ini bisa berhasil, dimulai dari kebun percobaan dalam skala kecil di dekat Berastagi, adalah karena dua faktor :
- Budidaya kentang menguntungkan dan pasarnya besar,
- Kecakapan penduduk untuk memanfaatkan pengetahuan yang ditunjukkan oleh contoh di kebun percobaan dan tampaknya mempunyai bakat untuk menguasai metode kami hanya dengan melihat.
Beberapa orang terkadang merasa ragu-ragu tentang perkembangan jumlah hasilnya. Apakah angka-angka yang diinformasikan benar adanya? Keraguan dalam hal itu dapat dihilangkan karena pemeriksaan yang baik, yang dilakukan oleh inspektur, yang menghitung produksi kentang dan produk lainnya dari dataran tinggi. Sementara lebih lanjut, data yang dikeluarkan oleh bea cukai Belawan tentang jumlah ekspor ke daerah luar, benar-benar dapat diandalkan. Hasilnya terbukti lebih cemerlang dari yang kita bayangkan.
Harian Deli Courant pada tanggal 12 Desember 1917 sudah menyatakan bahwa Straits Settlements juga menjadi salah satu pembeli kentang orang Karo, sehingga produksinya dapat terus meningkat. Pada tahun 1915, ada 36.000 pikul kentang dari Dataran Tinggi di sepanjang Tongkeh diekspor melalui Belawan. Pada 1916 sudah naik jadi 57.000 pikul dan untuk 1917 ada 70.000 pikul kentang yang mewakili nilai f 350.000. Dan berikut adalah data dari bea dan cukai :
Ekspor kentang dari Belawan selama Januari – Desember 1916 dan Januari – Desember 1917 :
Tampaknya, kentang tidak akan menjadi satu-satunya produk yang berkontribusi besar bagi kemakmuran penduduk dataran tinggi Karo. Sekarang karena transportasi mobil yang lebih cepat dan lebih teratur telah membuka kemungkinan juga untuk mengangkut sayur-sayuran segar ke Medan. Sebuah gambaran masa depan yang menjanjikan terbuka untuk budaya pertanian dan karya Bapak Botje terbukti menjadi berkah bagi penduduk.
Sudah tersedia bukti nyata, yang disebabkan oleh Kontrolir Kaban Djahë, Bapak Middendorp, yang tidak hanya membuat catatan akurat tentang segala hal, tetapi juga bekerja sama dengan Bapak Botje melalui pengaruhnya terhadap masyarakat di daerah ini. Terutama atas desakannya bahwa orang-orang Karo sendiri menginginkan ladang uji untuk sayuran dibuat dimana-mana.
Dimulai pada pertengahan tahun 1916 antara lain dengan budidaya kubis, dan pada akhir tahun dihasilkan 2.800 buah kubis sudah diekspor ke Medan dari sekitar Tongkeh. Mendapatkan keuntungan yang bagus dari komoditi ini, mereka fokus memperluas penanaman hingga didapatkan hasil dari 1 Januari 1917 hingga 1 Desember 1917 lebih dari 16.000 buah kubis telah dikirim, dan hingga akhir 1917 diharapkan telah mengekspor sekitar 20.000 buah.
Karena itu petani orang Tionghoa juga menemukan pesaing yang sangat serius di Karo. Karena penduduk terkesan oleh pengetahuan dan membutuhkan layanan yang diberikan oleh Botje, secara spontan mereka datang untuk menawarkan sebidang tanah untuk digunakan. Di atas tanah di Koeta Gadoeng dimulai.
Rumah dan peternakkan dibangun, kebun telah ditata, di mana penduduk dapat memperoleh benih baru, dan pengawasan terhadap hama harus dikontrol secara memadai. Dengan demikian, sebuah pertanian lengkap telah didirikan di sana, yang dapat berfungsi sebagai percontohan dan yang tidak diragukan lagi akan memiliki pengaruh besar pada masyarakat.
Pengembangan di bidang kerajinan.
Orang Karo pada umumnya adalah petani, ini tidak diragukan lagi telah dilakukan selama berabad-abad. Pendapatan baik lainnya adalah peternakan di sana-sini, namun tidak dilakukan semua orang.
Dan menyangkut pekerjaan tangan (penempaan, pertukangan, pengerjaan emas), ini adalah juga menjadi sumber penghasilan tambahan bagi sebagian kecil orang. Selain sebagai pandai besi atau tukang kayu, seseorang juga adalah seorang petani dan itu yang utama. Sebagai seorang petani, yang setidaknya menanam begitu banyak, ia harus memenuhi kebutuhannya sendiri.
Meskipun tukang tempa dan tukang kayu ini melakukan pekerjaan yang baik, terutama secara artistik, masih ada beberapa hal yang kurang dari sudut pandang teknis, misalnya proses finishing. Kekurangan ini tidak bisa dihilangkan tanpa pendidikan.
Oleh karena itu, uji coba pendidikan kerajinan tangan oleh Institut Bataksch patut mendapat perhatian. Uji coba ini dimulai pada tahun 1914. Walaupun semua permulaannya sulit dan orang masih mencari dan mencari metode yang paling tepat bagi Hindia untuk sampai pada pembentukan pengrajin yang sesuai, tidak mengherankan bahwa tidak banyak materi yang dapat disajikan pada uji coba ini sebagaimana diperlukan.
Namun demikian, dari laporan yang diterima dari pemimpin lembaga kerajinan dan pertukangan di Kaban Djahë, Bapak Van Bendegom dapat ditarik beberapa kesimpulan yang bermanfaat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa orang Karo memang memiliki bakat untuk pertukangan. Dan di bawah manajemen yang baik, setelah beberapa tahun ia sudah dapat membuat hal-hal di bidang pertukangan (pintu, misalnya) yang terlihat bagus, dan mampu mengerjakannya sepanjang waktu sehingga ia bisa mendapatkan upah harian 70 sen. (1)
Pusat pengembangan kerajinan sebenarnya adalah tempat kerja di mana pesanan dilaksanakan, tetapi sekali lagi bukan hanya tempat kerja, karena itu adalah lembaga pembelajaran dengan sekolah yang berasrama. Selain mereka juga menerima pendidikan, mereka juga diberi wawasan tentang pekerjaan, baik dalam teknologi maupun ekonomi. Dan ini adalah karya dari Bapak Van Bendegom, yang telah membuka kenyataan bahwa orang Karo adalah sangat berbakat menjadi pengrajin yang dapat melakukan pekerjaan dengan baik secara mekanis dan di bawah pengawasan, tetapi belum bisa bekerja mandiri atau sebagai wiraswasta.
Apakah yang kurang bagi mereka? Kami yakin bahwa ini bukan masalah, dan Bapak Van Bendegom juga tidak mengklaim hal ini. Dia mengaitkan kegagalan mereka dalam hal ini dengan persiapan yang tidak memadai. Pendidikan yang mereka terima di sekolah rakyat di sini adalah sekolah misionaris, yang telah mengajarkan mereka beberapa keterampilan (membaca, menulis, menghitung). Tetapi menurutnya pengetahuan dan keterampilan mereka sangat dangkal dan berbasis mekanis, tanpa pemahaman dan wawasan tentang apa yang mereka baca atau hitung.
Mereka tidak belajar berpikir di sekolah itu. Mungkin penghakiman ini agak terlalu sepihak dan karenanya tidak adil, tetapi kebenaran tidak diragukan terletak di dalamnya; para guru di sekolah misionaris itu sendiri adalah orang Karo, yang sebagian dilatih di sekolah guru misionaris di Raya. Dan meskipun pelatihan itu sendiri sudah cukup, mengingat kebutuhan umumnya sekolah misi, tetapi mereka terlalu muda dan tidak berpengalaman untuk menjadi guru yang baik, yaitu pendidik dan pemimpin.
Selain itu, penilaian ini tidak hanya berlaku untuk sekolah misi, tetapi juga berlaku untuk pendidikan umum dari pemerintah. Menurut mantan inspektur pendidikan, C. Lekkerkerker, mayoritas guru sekolah rakyat adalah “anak-anak” dari usia 13 hingga 17 tahun, mengharapkan pengajaran dari mereka!
Terpisah dari pentingnya “Pusat Pengembangan Kerajinan dan Pertukangan” ini di Kaban Djahë sendiri, sebagai lembaga pelatihan bagi pengrajin yang cocok dan praktis – dan karena itu hasilnya, mengingat periode singkat keberadaannya, sangat menggembirakan, – mungkin bahkan lebih penting dari sudut pandang ekonomi kolonial. Bahwa ia telah memunculkan bagaimana kemunculan dan pengembangan pengerjaan yang baik di lingkungan yang menawarkan kemungkinan untuk ini. Dan ini membutuhkan persiapan yang berbeda dan lebih baik daripada yang dapat diberikan oleh pendidikan umum, seperti yang ada saat ini.
Misionaris.
Dari kerja bidang Nederlands Zendelingenootschap (NZG), yang bekerja di daerah Karo baik di Karo Doesoen dan dataran tinggi Karo, orang dapat menyebutkan perpindahan pos Koeta Djoeroeng (Doesoen) ke sebuah danau di dekat jalan besar Bangoen Poerba – Seriboe Dolok.
Sebuah pos baru didirikan di dataran tinggi yakni di Baroes Djahë. Pekerjaan ini perlahan tapi terus berkembang, dan perluasan akan dilakukan ke arah Goenoeng-Goenoeng (mungkin Sarinembah). Pada tahun 1917, telah ada 40 sekolah dan 2054 siswa terdaftar. 105 orang telah dibaptis pada tahun 1916.
Dalam beberapa tahun terakhir, bantuan yang lebih baik telah disediakan untuk perawatan orang sakit. Ada rumah sakit tambahan di Sibolangit, di bawah pengawasan seorang perawat dan seorang perawat juga telah ditunjuk untuk perawatan penderita kusta.
Perawatan pada kelompok penderita kusta terus berkembang di Laoe Si Momo, ini adalah tanggung jawab misionaris di Kaban Djahë. Tetapi ini begitu berat sehubungan dengan luasnya wilayah hingga bagian dari pekerjaannya ini akan ditugaskan kekuatan baru. (2)
Pada akhir buku “Kroniek 1913-1917” ini dituliskan laporan tentang berita duka atas wafatnya Prof. Ch. A. van Ophuijsen pada tangga 15 Februari 1917, Bapak H. W. Fischer pada tanggal 10 Maret 1918 dan Bapak C. J. Westenberg pada tanggal 27 Juli 1918. Prof. Ch. A. van Ophuijsen bukan hanya anggota Dewan pendiri Bataksch Institute (30 September 1908), tetapi juga berperan aktif dalam pendiriannya. Selain itu, pengetahuannya yang luas dirasa sangat besar dan penting bagi Institut.
Dan Tuan Fischer adalah bendahara yang tepat dan rajin, Institut merasa kehilangan. Tuan Westenberg bergabung sebagai anggota Dewan Institut tidak lama setelah ia tiba di Hindia (pada tahun 1911, ia mengundurkan diri dari jabatan Residen Tapanuli). Dia selalu aktif ambil bagian dalam berbagai kegiatan dan diskusi.
Pengetahuannya yang besar, penilaiannya yang jelas dan mata kritisnya, membuat nasihatnya sangat berharga.
Catatan kaki :
Catatan dari Admin Karo Siadi :
1. Jenis kentang yang dimaksud adalah kentang bibit Holland (‘Solanun tuberosum L’). Berikutnya bibit baru yakni kubis (‘Brassica oleracexa/Brassica olerceaevar capitata L’), sayur putih (‘Brassica campestris var pekinensis Rupr’), dan buncis (‘Phaseoulus vulgaris L’). Selain dari Botje, petani Cina juga berpengaruh dengan munculnya budidaya jenis-jenis tanaman baru. Petani Tionghoa juga ikut meramaikan komoditas sayur-sayuran di Pantai Timur Sumatera.
2. Jenis-jenis hortikultura lokal (tanaman tersebut telah ada sebelum kedatangan Belanda) adalah selada air (sayur parit), tomat lokal (buahnya sangat kecil), labu jipang, labu kuning (labu siam), labu putih (walo), daun labu, dan kangkung.
3. Perkembangan pertanian Karo dari zaman ke zaman dapat dibaca pada link berikut ini.