,

Perjalanan Westenberg ke Dataran Tinggi Karo Tahun 1891 (bagian 1)

by -1,152 views
Petumbuken. Dari buku Un an en Malaisie (1889-1890) oleh Jules Claine.

Dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Benarkah Jules Claine Orang Pertama Eropah yang Mengunjungi Karo?” telah diketahui bahwa pada tanggal 3 September 1891, Jules Claine mengaku di depan Kongres Internasional Orientalis di London, bahwa dirinya adalah orang Eropah pertama yang menginjakkan kaki ke dataran tinggi Tanah Karo.

Sementara di tahun 1891, dataran tinggi Tanah Karo adalah wilayah merdeka atau independen yang belum bisa ditaklukkan oleh Kolonial Hindia Belanda. C.J. Westenberg di bulan Desember 1891, membantah pernyataan itu. Dan  Karosiadi  akan menuliskan pendapat dan bantahan akan pernyataan Jules Claine itu.

 

Westenberg Melayangkan Permintaan.

Dalam buku berjudul “Tijdschrift van de Nederlandsch Aardrijkundig Genootschap  VIII, 1891,”  halaman 1046,  terdapat tulisan C.J. Westenberg yang dimuat dengan judul “Schrijven van den heer Westenberg aan de Redactie.” Tulisan ini disampaikan Westenberg bertanggal 20 November 1891. Isinya adalah sebagai berikut :

Tuan Westenberg menulis ke Dewan Redaksi.

Medan, 20 November 1891.

Beberapa minggu yang lalu, saya mempelajari artikel-artikel di Nieuwe Rotterdamsche Courant dan di Illustrated London News  tentang tulisan oleh pelancong Prancis, Tn. Jules Claine di  Kongres Orientalis di London, sebagai hasil dari satu per satu perjalanan di negeri-negeri Karo  yang merdeka (independen), jelas bagi saya bahwa itu bukan cara saya, tetapi bahkan sampai batas tertentu itu adalah tugas saya untuk menentang keterangan palsu dari peristiwa dan kondisi yang dengannya wisatawan tersebut mengatakan berani tampil pada kesempatan itu dengan penuh percaya diri, dan bahkan tampaknya mencapai sukses besar.

Pada awalnya saya berniat menghubungi langsung Ketua kongres. Namun, setelah saya memikirkannya, saya segera menemukan keyakinan bahwa, sebagai anggota Geography Society, saya pertama-tama harus menghubungi bahagian administrasi Society itu.

Segera saya berharap dapat menawarkan kepada Anda, dengan permintaan sopan untuk ditempatkan di Journal of the Society :

  1. deskripsi perjalanan Claine, disertai Letnan Kolonel A.H. van de Pol, saya dan beberapa pria lain, yang sebenarnya yang dilakukan pada bulan Maret 1891
  2. kritikan atas cerita yang diberikan oleh Mr Claine dalam Illustrated London News bertanggal 12 September tentang perjalanan itu agar menjadi lebih benar.

Karena bagaimanapun, disela jadwal saya yang sibuk, saya pikir saya mungkin akan menyelesaikan pekerjaan itu dalam waktu beberapa minggu ke depan, dan agar topik ini tetap akutual dan tidak terlalu lama meninggalkan pembahasan tentang Tuan Claine, saya dengan ini memberi tahu Anda tentang niat saya. untuk menyatakannya.

Saya juga dengan rendah hati meminta Anda untuk memuat tulisan ini di dalam Journal jika memungkinkan segera, dan lebih jauh lagi untuk memanfaatkannya yang menurut Anda berguna dan diinginkan.

Hormat saya

J. Westenberg.

 

Dewan redaksi terburu-buru untuk memasukkan hal-hal di atas di Jurnal hari ini, dan demi untuk memuaskan keinginan penulis. Redaksi juga menantikan yang dijanjikan dengan penuh minat.

Amst. Desember 1891.

Sumber : Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1891.

 

Westenberg Menulis yang Sebenarnya.

Akhirnya C.J. Westenberg sesuai janjinya mengirimkan tulisan untuk memaparkan perjalanan sebenarnya ke dataran tinggi Karo dan memberikan kritikan-kritikan atas pernyataan Jules Claine di Kongres Orientalis di London

Tulisan ini dimuat di Jurnal : “Tijdschrift van de Nederlandsch Aardrijkundig Genootschap IX, 1892,” halaman 49-70. Berikut tulisannya :

Jurnal : Tijdschrift van de Nederlandsch Aardrijkundig Genootschap IX, 1892
Jurnal : Tijdschrift van de Nederlandsch Aardrijkundig Genootschap IX, 1892

Ilmu Pengetahuan  atau Omong Kosong?

Ditulis sebagai tanggapan atas ceramah oleh Tuan Jules Claine di Kongres Orientalis di London tentang perjalanan yang dia lakukan di negeri-negeri Karo.

oleh

C.J. WESTENBERG

(Kontrolir Kelas 2 Departemen Dalam Negeri di luar Jawa dan Madura)

 

1. Bagaimana Perjalanannya.

Pada awal Maret 1891, penulis mempersiapkan diri untuk mewujudkan pada niat lama untuk mengunjungi bentang alam di wilayah merdeka (independen) Soekapiring, salah satu ‘Oeroeng‘ (konfederasi) yang dihuni oleh orang Karo di utara Danau Toba. Perjalanan itu akan dilakukan bersama dengan Letnan Kolonel Mr. AH van de Pol, Komandan Militer di Pantai Timur Sumatra, yang ingin menjelajahi Tjinkem-pas, yang mengarah ke negara-negara merdeka, dan juga membawa calon inspektur H. P. Wagner dan ajudan non-commissioning officer Von Eglofstein.

Semua langkah persiapan telah diambil dan pemimpin daerah yang akan dikunjungi telah diberitahu tentang rencana kedatangan kami. Suatu pagi, disertai dengan rekomendasi dari Residen Tuan WJM Michielsen, Tuan Jules Claine,  anggota Paris Société de Géographie, bergabung dengan saya. Dia dengan sopan meminta saya diizinkan untuk menjadi bagian dari grup tur, yang diizinkan oleh saya, setelah berkonsultasi dengan Tuan Van de Pol.

Pada tanggal 12 Maret, Tuan Claine, Wagner dan penulis berangkat, kereta api membawa kami dari ibu kota Medan ke Deli Tuewa (Deli Tua). Lalu dengan tiga kendaraan yang diarahkan dengan menyentak dan mencambuk, yang dikenal di Deli sebagai  kareta sewa, kami dibawa ke bahagian yang lebih atas lagi jalan untuk menuju ke dataran tinggi.

Setengah jam berjalan dari daerah perkampungan Karo yaitu Koeta Biroebiroe, setelah melalui Perkebunan Batu Sangahan dan Afdeling Kwala dari perusahaan Deli Tuewa, jalan yang terawat dengan baik kini digantikan oleh jalan setapak.

Jadi, kami berjalan di tengah teriknya matahari, sebagian besar melalui ladang alang-alang. Cuaca cerah yang panjang menuju Koeta Pertoemboeken (jangan dikelirukan dengan kampung dengan nama yang sama di Serdang), perjalanan sekitar satu setengah jam.

Di di dekat kampung kecil Kwala di lembah Laoe (air, sungai) Seruewai, kami mendapatkan pemandangan indah dari lereng-lereng yang naik mendaki dengan lembut. Dan puncak-puncak bukit yang perkasa yang menutup dataran tinggi Karo ke arah utara.

Permadani hutan yang tebal dan gelap menutupi semua ketinggian ini. Hanya di sana-sini diselingi dengan area hijau terang, di mana kapak penghuni gunung menciptakan lahan ladang di hutan.

Koeta Pertoemboeken dihuni oleh delapan belas kepala keluarga yang masuk dusun lanskap Deli Senembah yang populasinya berasal dari orang Karo di negeri independen dari  Oeroeng Si Pitoe Koeta  dan Si Anam Koeta.

Kata “Karo doesoen” memiliki arti pemukiman, tetapi lebih banyak digunakan dalam arti subordinasi. Dengan demikian, empat Lanskap  Senembah, Sukapiring, Sepuloeh doewa Koeta dan Serbanjaman sebenarnya adalah doesoen (pemukiman) dari Urung Si Pitoe Koeta, Sukapiring, Sepuloeh doewa Koeta dan Teloe Kuru. Tetapi doesoen juga dikenal secara kolektif sebagai doesoen (atau daerah bagian) dari wilayah Kesultanan Deli Melayu.

Ikatan politik antara Doesoen ini dan tempat asal zaman dulu di pusat Oeroeng, bagaimanapun, secara bertahap menjadi sangat lemah, sementara di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir pemerintahan telah memegang kendali. Walau tidak dalam nama, tetapi memang berpindah dari tangan orang Melayu yang tidak populer di kalangan orang Karo kepada orang-orang Pemerintah.

Karo Doesoen  memiliki populasi 15.000 hingga 16.000 jiwa, semuanya milik suku Karo. Secara geografis wilayah ini terdiri dari daerah yang umumnya agak datar, perlahan-lahan naik bergabung ke lereng gunung berapi yang memisahkan wilayah pesisir dari dataran tinggi utara danau Toba.

Betapapun perlahan negeri ini bangkit, setiap perjalanan ke arah timur ke barat atau sebaliknya, mengalami kesulitan besar, akibat dari kenyataan bahwa negeri yang kaya air ini di mana sungai dan air terus mengalir berada di dasar lembah yang dalam dan dikelilingi oleh dinding yang curam.  Penduduk hidup tersebar di Koeta-koeta yang tak terhitung jumlahnya, yang masing-masing dihuni oleh  empat puluh hingga delapan puluh keluarga.

Budidaya padi dilakukan sebagian besar di ladang (djoema), tetapi di mana tanah yang cocok ditemukan, orang Karo dengan senang hati mengambil kesempatan untuk membangun sawah, dan dengan demikian berhasil mendapatkan hasil yang lebih baik.

Di Pertoemboeken saya harus membayar kepada Pengulu, Sibajak dan Kepala orang Karo  dari Deli Senembah, jumlahnya adalah sepertiga dari hasil tanah atau sewa tanah yang diberi oleh pekebun Eropa. Hasil tanah atau sewa tanah dibagi sama antara Sultan Deli, Datoe dari lanskap yang bersangkutan dan Kepala orang Karo  di bawah lanskapnya (kampung).

Selain itu, saya juga memiliki beberapa masalah layanan untuk didiskusikan, sementara  Tuan Claine membuat dirinya sibuk dengan mengambil foto, tetapi orang Karo tidak dapat dengan mudah mau sebagai model. Perlahan-lahan beberapa orang Melayu dan banyak pemimpin Karo bergabung dengan kami di sini, dan sebagian sedang dalam perjalanan.

Pada sore hari tanggal 15, muncul Kapten Van de Pol dan Tuan Von Eglofstein, sedangkan pada malam harinya muncul tiga puluh orang Karo penduduk dusun yang akan membawa barang-barang kami dengan dengan bayaran  tiga puluh sen dollar  per orang per hari. Dari sini dapat dilihat bagaimana bepergian di wilayah ini tidak bisa disebut murah. Dan menjadi layanan yang berharga di sini.

Hampir tidak mungkin mendapatkan kuli gratis untuk melakukan pekerjaan seperti itu, karena orang-orang Karo di sini telah mencapai tingkat kemalasan maksimal. Dan bahkan upah yang sangat wajar tidak memiliki godaan yang cukup bagi mereka untuk mengorbankan waktu bahagia mereka selama beberapa hari.

Orang Karo independen tidak kaku dan banyak dari mereka bahkan menghidupi diri mereka sendiri dengan transportasi dan penjualan garam,  walau menghasilkan  2 atau 3 dolar.  Konsumsi garam, terlepas dari opium dan ikan, adalah satu dari sedikit hal di mana penghuni gunung, yang bisa menyediakan kebutuhan mereka sendiri dalam hampir semua hal lain, namun  bergantung pada wilayah pesisir untuk hal itu.

Sementara itu,  kami harus kembali tanpa gangguan. Sudah kami ketahui saat masih di Medan, ada laporan tentang gerombolan orang  Aceh  yang kuat yang telah muncul di perbatasan barat laut dataran tinggi. Saya sekarang mengetahui dari berbagai sumber, sekitar 130  orang dari gerombolan  yang kuat ini telah maju dari barat-laut Kota Bangoen  ke negeri Timor, dan berdiam di sana sementara di Koeta Dolok Pariboean, yang sering menjadi titik tolak untuk penggerebekan oleh gerombolan dari Aceh.

Ini berkaitan dengan rencana mereka meningkatkan pertahanan di  Laoe Goemba, di pintu masuk atas Negerie pass, untuk dapat melakukan penggerebekan dari sana baik di dataran tinggi maupun di doesoen. Jadi, penting untuk berhati-hati, dan perlu mendapatkan informasi dengan baik dari mata-mata dan misionaris atas gerakan mereka  ini.

Peta perjalanan dari Medan menuju Cingkem
Peta perjalanan dari Medan menuju Cingkem

Kami melanjutkan perjalanan ke  Boeloe Awar  sesegera mungkin, tetapi masih relatif lambat, butuh banyak upaya untuk mendistribusikan barang dengan benar di antara para pengangkut barang. Pembawa barang ini terlihat tak mengecewakan, ketika bebannya tidak terlalu berat. Tetapi untuk membuat mereka bergerak cepat adalah sebagian besar waktu yang cukup sulit.

Kami mengikuti jalan yang sempit dan licin pada hari itu, sangat berbeda dengan jalan penting yang pernah menuntun beberapa tahun yang lalu ke perkebunan  Batu Sanggahan di Deli Tuewa bagian atas. Akan tetapi, hasil budaya tembakau di daerah-daerah dataran tinggi itu sangat menyedihkan, sehingga perusahaan Deli, setelah kehilangan banyak uang dalam percobaan penanaman ini, harus berhenti setelah beberapa tahun.

Tiga jembatan yang indah, dua di atas sungai  Laoe Seruewai dan satu di atas anak sungai  Laoe Boham, dulu merupakan salah satu fitur penting dari jalan pegunungan yang indah ini. Salah satu jembatan sudah runtuh, akibat dari hilangnya baut dan mur.  Jembatan yang melewati Laoe Boham, yang terbentang di atas jurang yang dalam, tidak bisa dilewati hingga ini menjadi tidak berguna untuk selamanya.

Umumnya para  pedagang kuda menyusuri Sungai di Boeloeh Awar. Bukan menyusuri Laoe Seruewai, bahkan jauh sebelum pembukaan perusahaan yang disebutkan di atas.

Setelah menyeberangi daerah aliran sungai antara Laoe Seruewai dan Laoe Petani (Sungai Deli), kami mencapai  Koeta Boeloe Awar.  Ini bagian dari Lanskap  Soekapiring dan merupakan kampung yang dihuni oleh empat puluh kepala keluarga. Di sini adalah lokasi misionaris Tuan  H. C. Kruyt  berada.

Saya pikir saya sangat meragukan apakah pekerjaan misionaris akan menghasilkan buah di sini, dan terutama buah yang berkelanjutan. Bukan karena orang Karo begitu terikat pada konsep-konsep pagan-nya. Meski sangat percaya takhayul, ia bebas dari segala  fanatisme. Namun baginya, dengan perpindahan transisi ke agama Kristen, disertai  lepas dari semua ritual tradisinya, lambat laun  pemeluk baru ini akan menyusut selama tidak ada insentif materi atau politik yang datang dari kegiatan para  misionaris.

Apakah keberhasilan awal misi ini, dalam jangka panjang akan menjadi kepentingan pengaruh kita dan posisi kita di wilayah ini, masih dipertanyakan. Di  Pesisir Barat Sumatra, paling tidak, berubah menjadi seorang Kristen sering tidak lebih dari jembatan keledai. Di banding di mana orang Karo pindah dari paganisme ke Islam. Tidak heran, jika orang memperhitungkan bagaimana aturan di Alquran, di berbagai titik utama, jauh lebih tidak bertentangan dengan konsep orang Karo dibandingkan dengan tata cara di Alkitab.

Tanggal 17, kami bergerak lebih jauh mengikuti jalan yang umumnya digunakan orang Karo, yang juga pernah saya lewati waktu kembali dari perjalanan negeri-negeri Karo yang merdeka di dataran tinggi pada bulan  Juli 1889. Namun kini tentunya berlawanan arah.

Jalur yang kami lintasi mengarah ke daerah aliran sungai antara  Laoe Seruewai  dan  Laoe Pepe. Jalur ini termasuk jalur yang sibuk antara dataran tinggi dan Deli bagi pengangkutan kuda dan gerobak.

Kami melewati kampung  Koeta Boengkei  dan  Ketangkoehan, dan di tengah hari kami sampai di lembah Seruewai yang menyembunyikan Tjinkem.

Koeta ini, yang merupakan koloni dari Adji Bohara di negeri yang merdeka, telah menjadi penting sejak kunjungan terakhir saya ke sana. Kini ada bertambah dua atau tiga rumah baru yang telah dibangun dan semuanya terlihat banyak kemakmuran.

Desa ini dikelilingi oleh lahan  sawah  yang cukup luas. Secara umum dapat dikatakan bahwa saat ini di daerah  Dosoen  semakin banyak Koeta-koeta  yang meningkat pertambahan penduduknya, sementara di daerah yang lebih rendah, di mana desa-desa Karo sering dikelilingi di semua sisi oleh perkebunan tembakau, populasi penduduknya tetap diam atau perlahan-lahan menurun.

Seperti biasa kami bangun lebih awal pada tanggal 18, tetapi butuh banyak upaya segera untuk mengarahkan para kuli ikut ke dalam pawai konvoi. Sekitar pukul tujuh kami akhirnya bisa berangkat.   Tuan Von Eglofstein  sudah membuat catatan kartu perjalanan dan dapat memetakannya nanti.

Dari Tjinkem kami harus mendaki melalui hutan lebat selama sekitar tiga jam, seringkali sangat curam, dan kemudian setelah melewati dua lembah dan turun secara bertahap kami beristirahat selama lima belas menit di alang-alang yang tumbuh di  ladang dataran tinggi.

Sibayak, 2172 meter di atas permukaan laut. Foto oleh Charles Kleingrothe. Perkiraan foto tahun 1903 – 1920.
Sibayak, 2172 meter di atas permukaan laut. Foto oleh Charles Kleingrothe. Perkiraan foto tahun 1903 – 1920.

Lintasan Tjinkem mengikuti lereng barat gunung berapi yang sudah tidur, Deleng (gunung) Baros.  Tiga lintasan lain menghubungkan Deli dengan dataran tinggi, yaitu lintasan  Negerie, sebelah timur Baros, dan lintasan  Betimoes dan  Serbanjaman, masing-masing membentang di timur dan barat gunung berapi  Sibajak  yang masih aktif. Namun, tidak satu pun dari jalur gunung ini yang dapat dibandingkan dengan Tjinkem dengan tingkat kemampuan yang masuk akal.

Dalam perjalanan saya sebelumnya ke lanskap independen dataran tinggi, saya melalui  Sepuloh Doewa Koeta  dan  Teloe Koeroe  dari jalur  Betimoes, tetapi kemudian harus berkemah semalam di hutan. Orang Karo tidak sampai satu hari untuk rute ini, tetapi pendaki yang lain jarang mampu melakukannya.

Di sisi lain, jalan melewati orang Karo Serdang di  Oroeng Senapang, melintasi  Dama Djamboe  dan  Bintang Maria, di mana  Dr. Hagen  selalu melaluinya. Saya sudah memeriksanya dan sekali lagi lebih baik lewat Tjinkem.  Daerah ini umumnya naik secara bertahap, sehingga orang tidak harus melintasi barisan gunung yang sebenarnya dengan dinding yang kurang lebih curam.  Jika  ada pembangunan jalan penghubung antara wilayah pesisir dan dataran tinggi, arah jalur ini tidak diragukan lagi harus diikuti.

Tiba-tiba seseorang datang membawa pesan tentang keberadaan gerombolan dari Aceh.

 

Bersambung ke bahagian 2

 

Keterangan tambahan dari redaksi Karo Siadi :

  1. Negeri independen.  Dataran tinggi tanah  Karo  sebelum tahun 1907 adalah daerah merdeka hingga dikatakan sebagai negeri merdeka atau negeri independen.  Kolonial Belanda baru bisa menaklukkan dataran tinggi Karo setelah dapat menaklukkan pasukan di bawah pimpinan  Kiras Bangun (Pa Garamata).
  2. Karo Doesoen.  Sibolangit, Bulu Awar dan kampung-kampung sekitarnya adalah masuk wilayah Boven Deli hingga daerah ini dikenal secara administrasi sebagai Doesoen (Dusun) atau Karo Doesoen.
  3. Yang dimaksud tingkat kemalasan di doesoen adalah tidak berminatnya mereka sebagai Koeli atau tenaga kerja lepas disebabkan hasil pertanian mereka baik dan perlunya tenaga mereka untuk dipakai bekerja di ladang dan sawah. Belum lagi hasil hutan memberi nilai tambah yang tinggi.
  4. Negeri Timor. Orang Karo menyebut orang Simalungun sebagai kalak Timur. Maka negeri atau daerah Timur yang dimaksud adalah daerah Simalungun yang berbatasan dengan daerah Karo.
  5. Tjingkem pass adalah lintasan yang melewati Tjingkem. Sama dengan Negerie pass  adalah lintasan yang melewati daerah Negerie.

 

No More Posts Available.

No more pages to load.