Bayi-bayi Karo (1932)

by -2,002 views
Bayi Karo dalam gendongan
Bayi Karo dalam gendongan

Pada tahun 1932, Jacob Hijmans De Haas (kelahiran Middelharnis, Belanda) melakukan penelitian ke Karo dibidang kesehatan khususnya mengenai kesehatan bayi dan proses persalinan yang ada masa itu. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gelar Dokter dari Sekolah Kedokteran di Batavia.

Berikut ringkasan dari sebahagian hasil penelitiannya yang dapat menjadi gambaran keadaan sekitar tahun 1932 :

Tidak ada prilaku khusus yang dilakukan selama masa kehamilan. Perempuan Karo terus melakukan pekerjaan mengolah tanahnya sampai waktunya tiba. Tidak jarang anaknya lahir di ladang atau dalam perjalanan pulang. Di rumah, persalinan disertai dengan banyak upacara untuk menolong ibu dan anak.

Tali pusar diikat setelah plasenta dipotong dengan pisau bambu. Pada minggu pertama ibu hanya mendapat bubur nasi untuk dimakan dan menghabiskan sebagian besar waktunya beristirahat. Segera setelah lahir, anak itu dimandikan oleh salah satu dari banyak saudaranya dengan air dingin dan kemudian dengan mengunyah sirih, yang bercampur lada, ludah dan digosok hangat (tidak ada obat yang diletakkan di pusar). Sang ibu lalu mengulangi kegiatan ini setiap hari pada minggu-minggu pertama. Setelah hari keempat puluh, sang ibu dengan anak di gendongan, baru kembali ke ladang untuk melakukan pekerjaannya.

Sirih dikunyah bercampur lada, lalu disemburkan dan digosokkan dengan hangat

Kebiasaan orang Karo ketika tidak ada komplikasi selama persalinan, meyakini tak akan ada apa-apa yang berbahaya baik bagi ibu maupun anak. Sang ibu dapat mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk anaknya selama empat puluh hari pertama, terlepas dari kegiatan rumah tangga.

Jika kesulitan muncul saat proses kelahiran, bantuan guru (dukun kampung) diperlukan. Ia menunjukkan kemampuannya dengan memberikan obat kepada wanita itu, memijatnya atau menyemburnya dengan bahan berbau tajam dan menggosoknya.

“Dokter kandungan” semacam itu tidak ragu-ragu menarik bagian tubuh anak baik dengan alat atau dengan paksa dimana posisi ibu menggantung. Terkadang ibu dan anak dapat meninggal saat persalinan. Tindakan yang diterapkan di kampung tidak menawarkan gambaran yang menarik selama persalinan abnormal.

Terkadang anak dilahirkan secara normal, tetapi “Agina” tetap tertinggal, ini adalah komplikasi yang dikenal dan ditakuti dalam masyarakat. “Agina” adalah kata dalam bahasa Karo untuk plasenta dan secara harfiah berarti “adik laki-lakinya (dari bayi yang baru lahir).” “Agina la reh” (plasenta tidak datang) adalah tangisan keputusasaan, sehingga seseorang kemudian pergi untuk meminta bantuan.

Jika sang ibu meninggal selama atau setelah proses kelahiran, biasanya di kampung terpencil mempunyai kebiasaan menyiram bayi yang baru lahir di bawah mayat ibu. Namun ini tidak umum, hanya di kampung-kampung kecil tertentu. Dianggap ini adalah kesalahan anak bahwa ibu meninggal.

Selanjutnya bila ada wanita yang sedang menyusui, biasanya bayi malang ini diberi ASI olehnya. Umumnya sang nenek dan bibinya memberikan makanan pada bayi dengan mengunyah nasi dan memberikan ke mulut sang bayi dan memberikan susu kaleng. Namun pemberian susu botol atau makanan yang dicampur dengan susu kaleng masih sangat jarang di kampung-kampung Karo.

Hampir jarang bayi-bayi mendapat makanan buatan ini. Susu sapi atau kambing tidak pernah diberikan. Sebelum tahun 1900, bayi yatim diberi tabung bambu, yang juga digunakan untuk keperluan lain, untuk tempat minum berisi air beras. Beberapa jenis botol isap tidak diketemukan.

Meludahkan nasi kunyah ke mulut bayi juga digunakan oleh ibu yang sedang menyusui anaknya. Orang-orang biasanya memulainya pada minggu-minggu pertama kelahiran dan melanjutkan metode pemberian makanan tambahan ini sampai anak mulai makan, yaitu, sampai akhir tahun pertama atau lebih lama. Mulut bayi tidak dibersihkan dengan cara apa pun.

Sang ibu meludahkan nasi yang dikunyah ke dalam mulut bayi, ini sudah dimulai pada minggu-minggu pertama atau bulan-bulan pertama dan yang merupakan satu-satunya makanan tambahan.

Sampai anak itu bisa duduk atau merangkak, ia menggantung di gendongan ibunya. Pada malam hari bayi berbaring di sebelah ibu. Tampaknya sikap ibu dan anak dalam menyusui ini adalah lebih baik daripada di Eropa. Dalam setiap posisi dan setiap jam, siang atau malam, bayi mendapatkan payudara ibunya segera setelah mulai menangis.

Bayi tidak memiliki tempat lain, selain dekat payudara ibunya atau di gendongan.

Sang ibu menghitung usia anaknya dalam jumlah malam dan kemudian dalam jumlah bulan purnama. Namun, seringkali dia tidak ingat umurnya. Jumlah bulan kehamilan ditentukan bahkan lebih tepat daripada usia anak yang sudah lahir.

Sangat jarang bagi perempuan untuk mengetahui tanggal periode menstruasi terakhir, yang sangat bisa dimengerti tanpa adanya pengetahuan kalender. Ini tentu saja akan berubah dalam waktu dekat, tetapi dalam keadaan saat ini masih mustahil untuk mengumpulkan data yang lebih akurat tentang durasi rata-rata kehamilan. Ini membuatnya sangat sulit untuk menilai apakah kelahiran terjadi beberapa minggu lebih awal.

Kebiasaan khusus dalam mengasuh bayi, selain dari menghiasi dengan perhiasan dan jimat, tampaknya tidak ada. Dalam rentang waktu yang panjang, orang-orang Karo memiliki cara-cara sederhana dalam merawat bayi dan soal kebersihan medis, yang sudah diikuti oleh masyarakat sejak zaman kuno.

Walau terkadang pertambahan berat fisik bayi terganggu, tidak mengurangi cinta sang ibu pada anaknya. Meskipun mungkin ada bayangan ingatan menakutkan, kenyataan bahwa ada sebuah fenomena dengan kematian bayi terjadi lebih dari 20% di tahun pertama kelahiran.

Penduduk tahu bahwa dalam keluarga yang terdiri dari 5 atau 6 anak biasanya ada satu atau dua anak meninggal pada tahun pertama kehidupan. Setiap 3-5 tahun, wanita Karo akan melahirkan seorang anak. Rata-rata wanita yang sudah menikah (wanita yang belum menikah sangat langka) memiliki 5 anak.

Beberapa perempuan menyatakan bahwa mereka menyusui anak mereka selama mungkin (bahkan sampai mereka hamil yang berikutnya, seringkali selama lebih dari dua tahun). Jumlah anak-anak yang lebih kecil ini berbeda dengan daerah lain yang memiliki anak 8 hingga 12 anak walau kehidupan ekonominya kurang mampu. Dan para ibunya juga menyusui anak-anak selama mungkin.

Kemakmuran ekonomi dan iklim yang sejuk memberi awal yang baik bagi anak-anak Karo untuk perkembangan fisiknya dibanding dengan pada bayi dari bagian daerah yang lebih miskin dan udaranya lebih panas. Dan daerah rendah itu tak luput dari ancaman malaria.

Sumber :

De Karo Zuigeling, 1932 oleh Jacob Hijmans De Haas. Percetakan G. Kolff & Co. Batavia.

No More Posts Available.

No more pages to load.